BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Laporan Keuangan merupakan alat utama bagi Perusahaan untuk menyampaikan
informasi keuangan mengenai pertanggung jawaban pihak manajemen. Penyampaian
informasi melalui Laporan Keuangan tersebut perlu dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak ekternal maupun internal yang kurang memiliki wewenang
untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan dari sumber langsung
perusahaan.
Hal ini sejalan dengan apa
yang dinyatakan dalam kerangka konseptual Financial Accounting Standards
Board (FASB) bahwa tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan
informasi yang berguna untuk keputusan bisnis. Laporan keuangan merupakan salah
satu sumber informasi yang secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana
pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya pemilik.
Laporan keuangan yang
disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terdiri dari neraca,
laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas
laporan keuangan.
1.2.
Perumusan
Masalah
Masalah
etika dalam kasus ini adalah
a. penggelembungan
daftar harga pada tanggal 3 Februari 2002, yang dilakukan oleh direktur
produksi PT Kimia Farma. Daftar harga inilah yang dijadikan dasar penilaian
persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.
b. pencatatan
ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang
tidak disampling oleh akuntan.
c. aktivitas
manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas
dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi
yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair.
Akuntan sudah melanggar etika profesinya.
Dampak dari
masalah etika ini adalah
a. Kesalahan
pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated
penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated
persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi
berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated
penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
b. Pencatatan
ganda atas penjualan, yang dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh
akuntan membuat auditor tidak dapat mendeteksi kesalahan pada penjualan.
c. KAP yang
mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang
berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut.
d. Kementerian
BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT Kimia
Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated)
dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002.
Melakukan
penyajian kembali (restatement) untuk periode yang telah disajikan
sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian
sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode.
1.3.
Tujuan dan
Manfaat
TUJUAN
Tujuan dari Penulisan Makala ini
adalah untuk deskripsikan kesalahan dan kekeliruan dalam pendataan, penjualan
serta audit yang terjadi pada perusahaan PT. Kimia Farma dan menganalisa
penyebab terjadinya kesalahan tersebut.
MANFAAT
Manfaat dari penulisan Makala ini adalah :
1. Bagi Akuntan agar berpegang teguh pada etika profesi dalam
melaksanakan tanggung jawab kerja.
2. Bagi Perusahaan agar melakukan control rutin terhadap kerja
para akuntan.
3. Bagi pihak management dan staf harus lebih peka terhadap
kekuasaan dan aturan dalam suatu pekerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Keterkaitan
Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku
badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan
pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus
ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana ditinjau dari segi
kepentingan stakeholder
adalah:
1. Klien atau
PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang
saham
3. Masyarakat
luas
Dalam
kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa
audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak
mampu melakukan review
menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan
manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan
nilai persediaan.
Kasus
yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas
audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan
ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM
adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi
HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi
konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan
kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah
kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar
risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam
manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak
terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai
dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai
risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan
strategis dengan stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai resiko etika
Dalam
kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian
risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
A.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai
siapa dan apa saja para stakeholder
yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa
kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian
dalam pemenuhan harapan stakeholder
melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan
audit pada Kimia Farma.
B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan
ekspektasi para stakeholder,
dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
C) Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada
nilai-nilai hypernorm,
seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab.
Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan
perbandingan.
Tiga tahapan
ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat mengawasi
adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk
menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis
mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina
hubungan strategis dengan stakeholder
KAP
HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder
dan meratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk
berkolaborasi dengan stakeholder
yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi
harapan para stakeholder
HTM.
2.1.
GAMBARAN UMUM
PT Kimia Farma
adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada
audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba
bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai bahwa laba bersih tersebut
terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang,
pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan
itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan
sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan
barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan
sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated
penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan
penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada
tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah
digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit
distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT
Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi
kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu
manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya
diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian
BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF
setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan
keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar
Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2
– Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan
Mendasar, sebagai berikut : “Kesalahan mendasar mungkin timbul
dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan
akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak
perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk periode
yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum
periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode.
Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur
lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Sebagai contoh di Indonesia dapat dikemukakan kasus yang
terjadi pada PT Kimia Farma Tbk (PT KF). PT KF adalah badan usaha milik Negara
yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa. Berdasarkan indikasi oleh
Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam (Bapepam, 2002) ditemukan adanya salah
saji dalam laporan keuangan yang mengakibatkan lebih saji (overstatement)
laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar
yang merupakan 2,3 % dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini
terjadi dengan cara melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha,
dan dilakukan dengan menggelembungkan harga persediaan yang telah diotorisasi oleh
Direktur Produksi untuk menentukan nilai persediaan pada unit distribusi PT KF
per 31 Desember 2001. Selain itu manajemen PT KF melakukan pencatatan ganda
atas penjualan pada 2 unit usaha. Pencatatan ganda itu dilakukan pada unit-unit
yang tidak disampling oleh auditor eksternal.
Terhadap auditor eksternal yang mengaudit laporan
keuangan PT KF per 31 Desember 2001, Bapepam menyimpulkan auditor eksternal
telah melakukan prosedur audit sampling yang telah diatur dalam Standar
Profesional Akuntan Publik, dan
tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT KF
menggelembungkan keuntungan. Bapepam mengemukakan proses audit tersebut tidak
berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT KF. Atas temuan ini, kepada PT KF Bapepam
memberikan sanksi administratif sebesar Rp 500 juta, Rp 1 milyar terhadap
direksi lama PT KF dan Rp 100 juta kepada auditor eksternal (Bapepam 2002).
Mengapa
auditor eksternal gagal dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan
seperti yang dicontohkan di atas. Mestinya
bila auditor eksternal yang bertugas pada audit atas perusahaan-perusahaan ini
menjalankan audit secara tepat termasuk dalam hal pendeteksian kecurangan maka
tidak akan terjadi kasus-kasus yang merugikan ini. Faktor apa saja yang menghalangi
auditor eksternal dapat menjalankan tugasnya sehingga kecurangan dapat
terdeteksi. Selanjutnya
bila factor tersebut terjawab, bagaimana upaya perbaikan sehingga auditor
eksternal mampu memenuhi harapan pengguna laporan keuangan. Mengingat akan arti pentingnya
tanggung jawab auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi
dan menganalisis faktor-faktor
penyebab kegagalan auditor eksternal dalam pendeteksian kecurangan.
Untuk melakukan hal di atas, pembahasan didasarkan atas
literatur-literatur profesional dan penelitian-penelitian empiris yang berkaitan.
Dari uraian ini diharapkan agar didapatkan gambaran jelas dan komprehensif
tentang masalah ini dan dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai langkah
untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Untuk menjawab
pertanyaan permasalahan di atas bukan merupakan tugas mudah mengingat literatur
dalam bentuk opini maupun penelitian empiris maupun rangkuman penelitian amat
tersebar-sebar dan dalam skop atau lingkup kecil. Dalam makalah ini, analisis
dilakukan dengan memetakan secara komprehensif faktor-faktor penyebab secara meta
theory dan berdasarkan faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan
yang mungkin diusulkan.
2.2.
SANKSI
DAN DENDA :
Sehubungan
dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero)
Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang
No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1.
Direksi
Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar
sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara,
karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31
Desember 2001.
2.
Sdr.
Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT
Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit
yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh
PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit
sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan
adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda
karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan
di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf
04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional
yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan
pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Akuntan publik
(Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan publik
ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang
interim 30 Juni tahun 2002.
Jasa HTM sebagai
akuntan publik tidak dipakai lagi oleh Kimia Farma setelah adanya Rapat Umum
Pemegang Saham.
Kejadian manipulasi
pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap
aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk
membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah
adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
2.3.
KETERKAITAN
AKUNTAN TERHADAP SKANDAL PT KIMIA FARMA
Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas
manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa)
harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia
Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada
saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas
laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans
Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan.
Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan
Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang
mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari
bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan
keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun
dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena
mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya
ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995
disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga
hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila
temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana,
karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib
melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar
modal.
Sehingga
perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan
auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar
profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut
bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen
akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui
laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau
tidak.
2.4.
KETERKAITAN
MANAJEMEN TERHADAP SKANDAL PT KIMIA FARMA
Mantan
direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus
dugaan penggelembungan (mark
up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk
tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan
kembali (restated)
hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara
itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti
diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba
bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah
terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih
2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit
ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni
2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah
hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta &
Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan PT. Kimia Farma juga siap melakukan revisi
dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan
kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang
saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik.
Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100
miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan
Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan
pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini, merupakan
kesalahan manajemen lama.
2.5.
KESALAHAN
PENCATATAN LAPORAN KEUANGAN PT. KIMIA FARMA TAHUN 2001
Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan
keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa
keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Bukti-bukti
tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak
sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap
ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi.
Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar
Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001.
Namun,
kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui
adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan
publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan
kembali (restated)
laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih
Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar.
Koreksi
ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para
pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam
rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui
tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
2.6.
DAMPAK
TERHADAP PROFESI AKUNTAN
Aktivitas
manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas
dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi
yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair.
Akuntan
sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan
keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak
fair membuat
pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi
akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika
oleh para akuntan publik.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Dari
kesimpulan diatas terdapat masalah manipulasi laporan keuangan demi tujuan
tertentu kembali terjadi. Kali ini terjadi di dalam negeri, salah satu
perusahaan obat-obatan terbesar di Indonesia, PT Kimia Farma, diduga
memanipulasi laporan keuangan mereka. Penggelembungan nilai persediaan dan
pencatatan ganda atas penjualan merupakan bukti bahwa terjadi masalah dalam praktik
akuntansi di perusahaan tersebut. Dari segi etika profesi akuntan, jelas hal
tersebut salah. Para akuntan tersebut jelas menyimpang dari tujuan utama
akuntan, yaitu menghasilkan laporan keuangan yang jujur dan benar.
Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas
manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa)
harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia
Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada
saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas
laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans
Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan.
Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan
Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang
mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari
bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan
keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun
dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena
mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya
ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995
disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga
hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila
temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana,
karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib.
Pada
akhirnya semua hal ini kembali kepada masing-masing individu auditornya dalam
melaksanakan jasa profesionalnya yang menuntut sikap independensi,
obyektifitas, integritas yang tinggi, serta kemampuan profesional dalam
bidangnya.
3.2.
SARAN
Berdasarkan Makalah diatas di harapkan masukan dan bantuannya untuk
memperbaiki dan menyempurnakan Makalah ini agar bisa lebih baik dan berguna.
Kepada Bapak Dosen Akuntansi II Eko Prasetyo, SE. MSi agar dapat
mengkoreksi kebenaran Makalah ini agar kami dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.